Semua agama mengajarkan cinta. Proyeksi dari cinta bisa macam-macam. Seorang pecinta membahasakan cintanya terhadap kekasihnya dengan cara mengapeli, memperhatikan dan mempedulikannya.
Guru membahasakan cinta terhadap murid-muridnya dengan bimbingan dan pendidikan tulusnya. Orangtua membahasakan rasa cintanya terhadap anak-anaknya dengan memperhatikan, melindungi, mencukupi kebutuhan, serta memikirkan masa depan sang anak. .
Namun, apakah cinta yang begitu agung dan tulus itu sudah terjelma dalam kehidupan sehari-hari? Jawabnya adalah belum. Mengapa? Karena cinta yang selama ini ada masih diwarnai dengan naluri kepemilikan, pengaturan dan penguasaan. Dan itu tampaknya sudah dianggap wajar dan diterima begitu saja (taken for granted). Para pecinta masih banyak yang membatasi ruang gerak kekasihnya dengan berbagai alasan.
Para guru masih banyak yang mendiskreditkan muridnya, karena keberanian sang murid dalam melontarkan kritik terhadapnya. Orangtua mengontrol anak-anaknya dengan begitu ketat dan menekan sang anak untuk mengikuti segala nasihat-nasihatnya, keinginannya, kemauannya, ambisi-ambisinya, tanpa memberi kebebasan kepada sang anak untuk memilih. Maka yang terjadi kemudian adalah tekanan psikologis yang membuat anak teralienasi dari dirinya dan dari apa yang dilakukannya.
Apakah para guru, kekasih, atau orangtua itu betul-betul cinta atau justru lebih mencintai dirinya sendiri daripada kekasih, murid dan anaknya? Apa yang mereka lakukan sebenarnya cermin ketakutan jika kuasa dan otoritasnya yang tertanam dalam diri orang-orang yang mereka cintai pudar. Dalam sebuah sistem kekuasaan, naluri pengaturan dan penguasaan itu tampak semakin jelas. Bahkan jika kita melihat berbagai fakta yang ada, terlihat bahwa unsur kuasa lebih dominan dari unsur cinta.
Dari realitas di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa cinta yang ada selama ini selalu berbalut erat dengan kuasa. Rasa cinta selalu dibarengi dengan penguasaan, pengaturan, yang justru bisa mengaburkan tentang adanya cinta. Cinta bukan lagi pengorbanan, tetapi tuntutan. Dan jika tuntutan tidak dipenuhi, seringkali terjadi kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikologis, yang sangat bertentangan dengan prinsip dasar cinta yang ramai, penuh kasih dan penuh keadamaian.
Cinta yang terbalut erat dengan kuasa dan dominasi itu oleh Erich Fromm disinyalir sebagai akibat dari pemahaman keliru tentang cinta. Selama ini, cinta dianggap sebagai sesuatu yang dapat dimiliki, yang darinya muncul naluri untuk mengatur dan menguasai.
Cinta dalam masyarakat sekarang adalah cinta yang didasarkan pada modus memiliki (to have) dan bukan didasarkan pada modus menjadi (to be).
Yang ada dalam masyarakat sekarang adalah keinginan untuk memiliki cinta, bukannya keinginan untuk mencintai. Dengan modus ingin memiliki (to have) ini, cinta menjadi beku dan tidak membebaskan, karena ada yang menjadi subyek dan ada yang menjadi obyek, ada yang menguasai dan ada yang terkuasai.
Menurut Erich Fromm cinta harus mengandung unsur pembebasan dan pemerdekaan, bukan penguasaan apalagi penindasan. Untuk mewujudkan cinta yang membebaskan ini - Erich Fromm menyebutnya sebagai cinta produktif - harus memiliki elemen-elemen dasar yaitu: perlindungan, tanggung-jawab, penghormatan dan pengetahuan.
Perlindungan dan tanggung-jawab menunjukkan bahwa cinta adalah sebuah aktivitas dan bukan sebuah nafsu yang olehnya orang terkuasai, dan bukan sebuah pengaruh (affect) yang mana orang terpengaruh olehnya.
Dalam perlindungan dan tanggung jawab yang ada hanya kerelaan untuk berbuat dan berkorban, tanpa diwarnai tuntutan untuk diakui, diikuti, ditaati, apalagi ditakuti. Perlindungan dan tanggung jawab adalah unsur pokok dari cinta
Foto Gambar Sumber Dari pixabay.com Silahkan Baca Juga Postingan Lainya Yaitu Mengerikan Masalah Sampah ATOM Yang Tak Pernah Hilang Dibumi www.tanggalhari.com viral di facebook berita kriminal pembunuhan hari ini kasus pembunuhan bayi terbaru 2016 di cimahi cikarang