Pelaut Online - Lebih dari 13.000 petani rumput laut Indonesia telah mengajukan gugatan terhadap sebuah perusahaan di Australia atas imbas tumpahan minyak yang terjadi pada 2009. PTTEP Australasia, selaku perusahaan yang digugat dan merupakan anak perusahaan minyak nasional Thailand, membantah tumpahan minyak tersebut mencapai perairan Indonesia.
Pada Agustus 2009, terjadi sebuah ledakan besar di sebuah ladang minyak di perairan Australia yang terletak di Laut Timor. Ladang itu dikelola anak perusahaan minyak nasional Thailand, PTT Exploration and Production Public Company (PTTEP). Setiap hari, selama lebih dari 10 minggu, minyak bumi yang cukup untuk mengisi 10 kolam renang ukuran Olimpiade, tumpah ke Laut Timor.
Para petani rumput laut di Pulau Rote, yang berada 250 kilometer dari ladang minyak itu, mengaku insiden itu menghancurkan nafkah mereka.
Wartawan BBC Indonesia, Rebecca Henschke, berkunjung ke Pulau Rote untuk mendengar kisah mereka yang terdampak insiden tersebut.
Petani rumput laut
Indonesia adalah salah satu negara penghasil rumput laut terbesar di dunia. Ketika Daniel Sanda beralih dari industri perikanan ke industri rumpur laut, dia mulai menghasilkan uang dalam jumlah yang jauh melampaui yang dia mimpikan. Selama masa jayanya antara 2001 dan 2008, dia mampu memanen 14 ton rumput laut per tahun dan mendulang sekitar A$20.000 atau sekitar Rp198,9 juta setiap tahun, jumlah yang sangat besar untuk ukuran ekonomi Pulau Rote.
Berkat panen rumput laut tersebut, Daniel mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke universitas. Hal itu tidak pernah bisa dibayangkan keluarga besar Daniel satu generasi sebelumnya.
Namun, suatu kejadian pada September 2009 mengubah segalanya.
“Pemandangannya sangat aneh, saya belum pernah melihat yang seperti itu. Warna air seperti pelangi. Saat itu saya tidak mengerti apa yang terjadi. Lalu ketika saya pergi ke lahan rumput laut, rumput lautnya telah berubah warna. Saya juga melihat banyak bangkai ikan, terlalu banyak untuk dihitung,” kata Daniel. Menurut Daniel, selama empat tahun sejak peristiwa itu semua rumput laut yang dia tanam telah mati.
“Kami merasa dicurangi dan kejadian itu merampas kemampuan kami untuk terus membayar pendidikan anak-anak kami,” ujarnya.
Pengacara
Para pengacara yang membela para petani rumput laut berupaya mendapatkan kompensasi atas hilangnya pendapatan para petani, seperti Daniel Sanda, akibat tumpahan minyak di perairan Pulau Rote sebesar A$200 juta atau sekitar Rp1,98 triliun.
“Uang (yang dituntut sebagai kompensasi) memang banyak, tapi ada begitu banyak petani rumput laut dan mereka untuk pertama kali punya usaha dengan penghasilan US$30.000 per tahun untuk petani rumput laut yang besar,” kata Greg Phelps, pengacara para petani rumput laut. Phelps memutuskan untuk membela para petani rumput laut setelah bertolak ke Pulau Rote dan mendengarkan kisah mereka.
“Kesaksian para petani rumput laut sangat luat. Semakin dalam kami meninjaunya, semakin kuat kasus ini. Menjadi jelas bahwa kawasan yang sangat luas terdampak oleh polusi dengan tingkat luar biasa,” ujarnya. Para pengacara menuntut PTTEP Australasia, anak perusahaan PTTEP. Gugatan sipil para petani rumput laut di pengadilan federal Australia didanai salah satu pendana litigasi terbesar di dunia, Harbour Litigation Funding Limited.
Mungkin itulah Artikel 13.000 Petani Rumput Laut Gugat Perusahaan Minyak Atas Imbas Tumpahan Minyak yang bersumber dari bbc.com
Pada Agustus 2009, terjadi sebuah ledakan besar di sebuah ladang minyak di perairan Australia yang terletak di Laut Timor. Ladang itu dikelola anak perusahaan minyak nasional Thailand, PTT Exploration and Production Public Company (PTTEP). Setiap hari, selama lebih dari 10 minggu, minyak bumi yang cukup untuk mengisi 10 kolam renang ukuran Olimpiade, tumpah ke Laut Timor.
Para petani rumput laut di Pulau Rote, yang berada 250 kilometer dari ladang minyak itu, mengaku insiden itu menghancurkan nafkah mereka.
Wartawan BBC Indonesia, Rebecca Henschke, berkunjung ke Pulau Rote untuk mendengar kisah mereka yang terdampak insiden tersebut.
Petani rumput laut
Indonesia adalah salah satu negara penghasil rumput laut terbesar di dunia. Ketika Daniel Sanda beralih dari industri perikanan ke industri rumpur laut, dia mulai menghasilkan uang dalam jumlah yang jauh melampaui yang dia mimpikan. Selama masa jayanya antara 2001 dan 2008, dia mampu memanen 14 ton rumput laut per tahun dan mendulang sekitar A$20.000 atau sekitar Rp198,9 juta setiap tahun, jumlah yang sangat besar untuk ukuran ekonomi Pulau Rote.
Berkat panen rumput laut tersebut, Daniel mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke universitas. Hal itu tidak pernah bisa dibayangkan keluarga besar Daniel satu generasi sebelumnya.
Namun, suatu kejadian pada September 2009 mengubah segalanya.
“Pemandangannya sangat aneh, saya belum pernah melihat yang seperti itu. Warna air seperti pelangi. Saat itu saya tidak mengerti apa yang terjadi. Lalu ketika saya pergi ke lahan rumput laut, rumput lautnya telah berubah warna. Saya juga melihat banyak bangkai ikan, terlalu banyak untuk dihitung,” kata Daniel. Menurut Daniel, selama empat tahun sejak peristiwa itu semua rumput laut yang dia tanam telah mati.
“Kami merasa dicurangi dan kejadian itu merampas kemampuan kami untuk terus membayar pendidikan anak-anak kami,” ujarnya.
Pengacara
Para pengacara yang membela para petani rumput laut berupaya mendapatkan kompensasi atas hilangnya pendapatan para petani, seperti Daniel Sanda, akibat tumpahan minyak di perairan Pulau Rote sebesar A$200 juta atau sekitar Rp1,98 triliun.
“Uang (yang dituntut sebagai kompensasi) memang banyak, tapi ada begitu banyak petani rumput laut dan mereka untuk pertama kali punya usaha dengan penghasilan US$30.000 per tahun untuk petani rumput laut yang besar,” kata Greg Phelps, pengacara para petani rumput laut. Phelps memutuskan untuk membela para petani rumput laut setelah bertolak ke Pulau Rote dan mendengarkan kisah mereka.
“Kesaksian para petani rumput laut sangat luat. Semakin dalam kami meninjaunya, semakin kuat kasus ini. Menjadi jelas bahwa kawasan yang sangat luas terdampak oleh polusi dengan tingkat luar biasa,” ujarnya. Para pengacara menuntut PTTEP Australasia, anak perusahaan PTTEP. Gugatan sipil para petani rumput laut di pengadilan federal Australia didanai salah satu pendana litigasi terbesar di dunia, Harbour Litigation Funding Limited.
Perusahaan
Perusahaan yang mengelola kilang minyak Montara PTTEP Australasia menolak permintaan wawancara sama BBC. Namun dalam sebuah pernyataan mereka mengklaim bahwa mereka telah membiayai “program riset saintifik independen terbesar yang pernah dilakukan di lingkungan Laut Timor”. Riset itu menunjukkan tidak ada tumpahan minyak yang mencapai ke perairan Indonesia.
Perusahaan tersebut juga menyatakan riset telah menunjukkan “tidak ada kerusakan jangka panjang terhadap keanekaragaman hayati di ekosistem yang sangat rapuh di kawasan yang paling dekat dengan perairan Indonesia.”
Meski demikian, perusahaan itu mengatakan kepada BBC bahwa riset atau uji coba yang mereka lakukan tersebut tidak dilakoni di perairan Indonesia atau sekitar perairan Pulau Rote setelah gagal mencapai kesepakatan dengan pemerintah Indonesia untuk mendapat izin melakukan riset.
“Kami yakin berbagai hasil dari kajian-kajian independen ini akan tahan uji dari pemeriksaan tertinggi, begitu pula dengan pendirian kami bahwa merupakan hal yang masuk akal untuk memperhitungkan berdasarkan kajian-kajian tersebut, yakni jika terumbu karang yang paling dekat dengan Montara—tempat minyak dan konsentrasi penyebarannya paling besar—tidak menunjukkan dampak jangka panjang, maka mustahil perairan dan garis pantai Nusa Tenggara Timur akan terdampak.”
Aktivis
Aktivis Indonesia, Ferdi Tanoni, telah bertahun-tahun melobi pemerintah Indonesia, pemerintah Australia, serta perusahaan agar mendanai peninjauan dampak lingkungan bisa dilakukan secara tepat.
Baginya, kenyataan bahwa kasus itu kini sedang disidangkan adalah sebuah kemenangan.
“Sudah tujuh tahun, itu perjuangan yang panjang. Namun kini para petani rumput laut punya teman di seluruh dunia, jadi kami tidak sendiri. Saya percaya dengan sistem keadilan di Australia,” kata Ferdi.
“Itulah mengapa saya ingin mengajukan kasus ini ke pengadilan Australia. Kebenaran akan menang betapapun lamanya perjuangan ini.”
Para pengacara mengingatkan bahwa kasus ini bisa berlangsung berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.